Sabtu, 01 Desember 2012

***Coklat-Butterfly***


Udara malam begitu dingin. Angin masuk dari jendela kamar Renata, membuat poninya berantakan. Mata Renata memandang ke luar jendela, menghitung rintik-rintik air hujan, sesekali dialihkan matanya ke jam dinding di sudut kamarnya. Sudah hampir jam 9 malam. 'Kemana dia?  Kenapa sekarang dia jarang kasi kabar ke aku?'
Sambil tetap menerawang langit, pikiran Rena mulai mengingat lagi kejadian akhir-akhir ini dalam hubungannya dengan Bryan, pacarnya. Sudah setahun ini dia menjadi pacar seorang mahasiswa peternakan, Universitas Harapan, Jogjakarta. Walaupun satu kampus, tapi Rena masuk di jurusan Akuntansi, yang jauh gedungnya dengan gedung peternakan. Bahkan, jam kuliah mereka sering beda. Beberapa minggu ini Rena jarang-jarang kontak dengan Bryan, paling sehari hanya pas malam saja. Kata Bryan, ia sibuk dengan PKL (Praktek Kerja Lapangan) nya, juga dengan persiapan skripisinya. Masih ada lagi penelitian-penelitian yang mengharuskannya kerja kelompok setelah jam kuliah usai.
Lamunannya terhenti ketika ponselnya berbunyi. Buru-buru ia meraih ponsel di kasurnya dan melihat nama yang tertera di layar ponselnya. 'Hufttt...,' desahnya.
"Iya?" dengan malas Rena menyapa orang di seberang telepon.
"Kok lemes gitu sih, Ren?"
"Sorry, Nat. Aku kira yang telepon Bryan,"
"Jadi kamu kecewa ternyata aku yang telepon?" canda Natali meski ia tau Renata akan tersenyum kalo Bryan sudah memberi kabar padanya.
"Aku harus gimana ni? Bahkan sms ku dari tadi siang belum dibalas, telepon ku nggak pernah diangkat. Masak sih bales sms aja nggak bisa? Aku takut, jangan-jangan yang diomongin mantannya bener,"
"Udahlah, Ren. Mungkin dia emang sibuk. Kalo kamu tetap mau lanjutin hubungan kalian, kamu harus bisa percaya dia," ia memang tau bahwa Bryan benar-benar sibuk, waktu itu ia pernah melihat Bryan memaki-maki mantannya yang deketin dia mulu.
"Tapi aku udah putusin, lebih baik aku selesain hubungan ini. Aku capek baca sms-sms mantan dia. Aku nggak tahan, Nat," perlahan air mata Renata mulai menetes.
"Oke, Ren. Apapun keputusanmu, aku tetap akan dukung kamu," Natali nggak tau harus bagaimana. Di satu sisi ia melihat Bryan memang sibuk, tapi di sisi lain, ia kasihan melihat Renata terus-terusan mendapat sms ancaman dari mantan Bryan.
"Thanks ya, Nat,"
Rena meletakkan ponselnya lagi di kasur dan mulai merebahkan diri siap untuk tidur. Dering HPnya, tanda sms masuk terdengar, namun sekali lagi ia harus kecewa, sms itu bukan dari Bryan tapi dari Yola, mantan Bryan sekaligus teman sefaktultas dan seangkatan. Jadi Bryan memang lebih sering bertemu Yola ketimbang Rena.
Ren, kamu tau nggak? Sekarang ini aku lagi ngedate sama Bryan. Kita makin dekat aja nih. Walopun dulu sempat putus gara-gara kamu. Ha8x..
Rena langsung menghapus sms itu, hatinya terasa semakin sakit. Dulu pernah Rena mendatangi rumah Bryan untuk menanyakan kebenaran sms Yola, tapi kata Mamanya, ia sedang menginap di rumah temannya, sewaktu ditelepon, Bryan malah marah-marah padanya dan minta supaya tidak diganggu dulu karena sedang membuat laporan penelitian. Setelah kejadian itu, Rena hanya pasrah saja ketika mendapat sms dari Yola. Ia berharap sms-sms Yola itu bohong, 'tapi kenapa ketika Yola sms pasti Bryan juga nggak ada kabar?'




"Kamu jadi, Ren mutusin Bryan? Nggak nyesel?" Natali menemani Rena menuju taman sebelah gedung fakultas peternakan.
"Ya, semalam aku udah sms dia ngajak ketemuan, dia bilang sih oke-oke aja,"
"Kamu masih sayang sama dia kan?"
"Nat, aku masih sayang sama dia, sayang banget malah. Tapi dianya aja sibuk, nggak tau kemana, apalagi Yola sekarang hobi banget sms aku, bikin panas hati aja. Mungkin memang lebih baik aku relain Bryan, Yola juga kan yang lebih dulu cinta sama Bryan. Bener dia, aku yang ganggu hubungan mereka,"
"Bisa aja kan karena mereka berdua sedang ada penelitian di kampus dan Yola tau, saat itu Bryan nggak akan nemuin kamu, makanya dia sms kamu kalo dia lagi jalan sama Bryan,"
"Entahlah, tapi aku capek, Yola nggak akan berhenti gangguin aku kalo aku masih jadi pacar Bryan,"
Dari jauh Rena dan Natali sudah melihat Bryan duduk di taman. Cowok itu selalu on-time setiap janjian ketemuan. Rena menghampiri Bryan, sedangkan Natali menunggu di dekat warung minuman sekitar taman, berjaga-jaga jika nanti sahabatnya memerlukannya.
"Hai...," sapa Bryan sambil memeluk Rena, "Aku kangen kamu," bisiknya. Rena hanya tersenyum, 'Andai aja nggak ada masalah sama Yola, aku pasti akan balas peluk Bryan'
"Mau ngomong apa, Butterfly?" tanya Bryan sambil keduanya duduk.
'Ya Tuhan..., panggilan itu. Fiuhhh..., kalo dia masi manggil aku kayak gitu, apa aku tega coba mutusin dia? Tapi kalo nggak diputusin, mantannya gimana? Aku harus bisa!'
"Hmm..., Coklat, aku mau ngomong tapi kamu janji jangan marah ya?"
Yah, Coklat itu panggilan Rena ke Bryan karena dia suka coklat dan Rena sendiri suka Butterfly.
"Iya, janji. Ada apa? Serius banget sih kamu?"
"Mmm..., kita..., kita sampai sini aja ya," bisik Rena hati-hati.
Setengah tak percaya, Bryan berdiri, matanya terbelalak kaget, senyumnya memudar dari bibirnya.
"Kenapa? Aku salah apa? Ada masalah apa sih? Bukannya selama ini kita nggak pernah ada masalah yang serius? Kamu jelasin dong ke aku...,"
"Nggak, Coklat. Kamu nggak salah, nggak ada yang salah, aku minta maaf. Tadi kamu udah janji kan nggak akan marah?"
"Cowok mana yang nggak marah kalo pacarnya minta putus tanpa alasan yang jelas? Apa kenangan kita selama ini nggak ada artinya buat kamu?"
Air mata mengalir deras, kepala Rena menunduk, nggak ada keberanian untuk menatap wajah Bryan, wajah yang penuh ketulusan mencintai dan menyayanginya. Ia tau Bryan memang cowok baik-baik, tapi ancaman-ancaman Yola membuatnya harus menyudahi hubungan itu supaya ia bisa hidup lebih tenang.
“Maafin aku, Coklat. Terimakasih ya buat semuanya, aku sayang kamu,” hanya itu yang bisa diucapkan Rena kemudian ia pergi meninggalkan Bryan sambil berlinang air mata.
Bryan menatap kepergian Rena dengan pandangan kosong, ia masih belum percaya baru saja ia diputuskan oleh pacarnya. ‘Rena tadi bilang aku sayang kamu? Tapi kenapa dia mutusin aku? Ya, mungkin akibat akhir-akhir ini aku sibuk, sehingga Rena merasa nggak aku perhatiin lagi. Bego banget aku!’




”Bryan, aku dengar kamu sudah putus sama Rena? Kok bisa sih? Katanya cinta mati…,” Yola menghampiri Bryan yang saat itu sedang membuat laporan di laboratorium.
”Apa urusannya sama kamu? Iya, aku putus sama dia seminggu yang lalu,” Bryan tak mengacuhkan Yola dan tetap memandang kertas di hadapannya.
“Nggak pa-pa kok, cuma tanya aja. Masih banyak kali, Bry yang mau jadi cewek kamu, jadi mending nggak usah kejar-kejar lagi cinta dia,” ucap Yola sambil tersenyum penuh kemenangan.
Bryan segera membereskan buku-buku dan kertasnya, segera meninggalkan Yola karena malas ngobrol dengannya.





Dear Diary,
Kenapa ya aku masih inget coklat mulu? Padahal ini udah seminggu aku putus sama dia. Hmm…, sekarang Yola nggak pernah lagi sms aku. Baguslah, jadi hidup aku sekarang bisa tenang. Tapi aku kangen sama coklat, aku masih sayang banget sama dia, harusnya kemarin aku bilang masalah sms Yola, yahh…kali aja coklat bisa bantu nyelesain, tapi aku takut juga kalo ntar malah bikin mereka bertengkar. Huft…serba susah jadi aku, yaudahlah…mungkin ini memang yang terbaik.
Kupejamkan mata ini, mencoba tuk melupakan
Segala kenangan indah, tentang dirimu tentang mimpiku
Semakin aku mencoba, bayangmu semakin nyata
Merasuk hingga ke jiwa, Tuhan tolonglah diriku
Entah dimana dirimu berada, hampa terasa hidupku tanpa dirimu
Adakah disana kau rindukan aku, seperti diriku yang slalu merindukanmu
Tak bisa aku ingkari, engkaulah satu-satunya
Yang bisa membuat jiwaku, yang pernah mati menjadi berarti
Namun kini kau menghilang bagaikan di telan bumi
Tak pernahkah kau sadari arti cintaku untukmu.

Love,
Renata




Jam 12 siang selesai kuliah, Rena ingin cepat-cepat pulang, tugasnya masih ada setumpuk, ditambah tugas mata kuliah yang hari ini diberikan. Ia menuju tempat parkir motor yang ada di sebelah gedung fakultasnya. Dari seberang jalan terlihat seseorang yang ingin menyeberang sambil membawa banyak sekali buku-buku tebal, orang itu benar-benar sangat familiar baginya. Suara klakson yang terus-terusan berbunyi memekakkan telinga Rena, membuatnya panik dan bingung antara menolong orang itu atau tidak.
“Yolaaa! Awasss!” teriak Rena sambil berlari dan memutuskan untuk menolong Yola.
BRAKKK! CIIITTTT!  suara rem mobil terdengar seperti dipaksakan agar mobil segera berhenti, tubuh Rena terpental keras. Orang-orang berlarian menghampiri Rena yang sudah tak sadarkan diri.

“Rena! Rena! Ya ampun, tolong dong! Jangan diliatin aja!” seseorang akhirnya berhasil memanggil sebuah taksi dan membawa Rena yang ditemani Yola menuju ke rumah sakit terdekat.




“Gimana Rena?” tanya Bryan yang datang bersama dengan Natali.
“Belum tau. Maaf ya, Bry, ini semua karena aku, Rena yang nolongin aku waktu aku mau nyebrang. Ucap Yola penuh dengan perasaan bersalah.
“Semoga Rena baik-baik aja,” Bryan dan Natali mengintip dari jendela kecil di atas pintu.
30 menit kemudian dokter keluar dari dalam ruangan.
“Bagaimana keadaan Rena, Dok?” tanya Bryan was-was.
“Pasien kehilangan banyak darah dan ada keretakan di otaknya akibat benturan yang sangat keras,”
“Tapi Rena masih bisa diselamatkan kan, Dok?”
“Maaf, kami sudah berusaha sebaik mungkin, namun Tuhan berkata lain,”
Bryan berlari segera memasuki ruang ICU, Rena masih tetap saja tertidur, tersungging senyum tulus dari bibirnya, sangat manis. Cewek yang sangat ia cintai tetapi ia gagal menjaganya, ia sangat menyesali hal itu, kini ia benar-benar harus kehilangan Rena untuk selamanya. Dipeluknya tubuh Rena untuk yang terakhir.
“Rena, aku sayang kamu, aku cinta kamu, aku harap hubungan kita masih bisa diperbaiki, tapi kenapa kamu lebih dulu pergi ninggalin aku? Maafin aku karena aku nggak bisa jaga kamu, maafin aku kalo aku kecewain kamu. Semoga kamu bahagia di sana. Aku selalu kangen kamu, butterfly,”
Yola dan Natali masuk ke dalam ruangan, air mata tak bisa tertahan lagi. Mereka mengecup kening Rena untuk yang terakhir kalinya.




Pagi ini cuaca begitu cerah, tapi tidak untuk hati Bryan yang harus berada di depan makam orang yang dicintainya.
“Kak Bryan,” panggil Natali ketika acara pemakaman telah selesai, “Ini buku harian Rena, aku nemuinnya waktu beres-beres kamar Rena kemarin. Aku rasa Kak Bryan perlu baca ini karena masalah dalam hubungan kalian tertulis jelas dalam buku ini,”

Pulang dari pemakaman, Bryan segera mengunci diri di kamar, ia sibuk membuka dan membaca buku harian Rena. Satu demi satu halaman sudah ia baca, hingga ia bisa menyimpulkan masalah apa yang sebenarnya membuat Rena harus menyudahi hubungan mereka. Rasa sakit yang amat sangat menjalar ke semua tubuhnya, terutama hatinya. Rena rela menyudahi hubungannya hanya untuk Yola. ‘Ya Tuhan, cowok macam apa aku ini? Aku sudah menyia-nyiakan orang yang begitu baik, begitu mencintai aku,’ hatinya perih sekali, andai saja ia tau umur Rena sangat singkat, ia pasti akan meninggalkan segala macam laporan-laporan penelitiannya dan menyerahkan seluruh waktunya demi Rena sehingga nggak ada lagi salah paham dengan sms-sms Yola. Kini gantian ia yang harus merelakan Bryan, bukan untuk oranglain, namun untuk surga yang telah menantinya. Terakhir yang ditulis Rena adalah
Renata Love Bryan Forever

Bryan mengambil bolpoin yang ada di atas mejanya, ia menuliskan sesuatu di halaman buku Rena.
Waktu terasa semakin berlalu
Tinggalkan cerita tentang kita
Akan tiada lagi kini tawamu
Tuk hapuskan semua sepi di hati
Ada cerita tentang aku dan dia
Saat kita bersama, saat dulu kala
Ada cerita tentang masa yang indah
Saat kita berduka, saat kita tertawa
Teringat disaat kita tertawa bersama
Ceritakan semua tentang kita…

Love,
Bryan
(Coklat-Butterfly forever)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar